[Diikutkan untuk Ramadhan Giveaway dengan tema "Find The Right"]
15
Januari 2013
Aku
tersentak kaget. Puluhan mata tertuju padaku.
“Kamu…?”
sahut seorang laki-laki dengan seragam paling berantakan diantara yang lainnya.
“Gisel!!”
sahut yang lain lagi disebelah sana.
Aku
hanya terdiam sementara mereka sibuk berbisik satu sama lain. Aku mencoba
menerka apa yang jadi bahan pembicaraan mereka tapi otakku terlalu dangkal.
“Hah???”
sentak seorang perempuan yang baru masuk dan menjatuhkan tumpukan buku yang dia
bawa. Ia berkacamata-dengan tatanan rambut yang lebih mirip Dora The Explorer, dengan seragam yang
sangat rapi bak tak pernah tersentuh, dan sepatu kets putih yang sangat
mengkilap, kuberi dia nilai 9 untuk kerapiannya.
Aku
bingung apa yang harus kulakukan. Seisi kelas 2-D sepertinya sangat tak
mengharapkan keadaanku. Entah apa yang salah dariku, bahkan tak satupun ucapan
mereka yang dengan jelas dicerna telingaku.
Seorang
perempuan masuk dan menenangkan murid-murid.
“Anna,
coba perkenalkan diri dulu.” perintahnya tak lama setelah kelas mulai terlihat
tenang.
“Hai..
Namaku Anna, Anna Pierre. Kuharap kedatanganku disini sama sekali tak menjadi
beban buat kalian.” sapaku diiringi senyuman yang tak kutahu apakah terlihat
tulus atau ketus.
“Ah,
tak bisa kupercaya.”.. “Dia bilang namanya Anna?”… “Dia hidup lagi!”
Aku
terperangah. Kata-kata terakhir yang terngiang ditelingaku agak mengagetkan.
Pasti ada sesuatu denganku.
“Anna,
dulu dikelas ini ada seseorang yang wajahnya mirip sekali dengan kamu, namanya
Gisel, tapi ia sudah meninggal saat kemah dua bulan yang lalu. Jadi tolong kamu
maklumi ya, mereka mungkin sedikit kaget.” Ibu Irene mencoba menjawab
pertanyaan yang sedari tadi tak juga aku lontarkan.
Aku
hanya tersenyum dan mengangguk.
“Kamu
dari mana?” suara itu terdengar dari laki-laki yang diujung sana. Semua mata
kini tertuju pada laki-laki itu. Aku tak tahu seperti apa sebenarnya kelas ini.
Mereka terlihat membingungkan.
“Aku
pindahan dari salah satu sekolah swasta di Jogja.” jawabku santai mencoba
mengabaikan tatapan aneh dan kaget mereka.
Hampir
15 menit aku berdiri disana, sebelum akhirnya aku duduk disebelah perempuan
yang kuberi nilai 9 tadi.
“Hai..”
sapaku singkat.
Dia
hanya menoleh dan tersenyum sedikit kepadaku.
“Anna,
kenapa kamu bisa pindah kesini?” tanya seorang perempuan dibelakangku.
“Bulan
lalu, panti asuhan tempat-ku tinggal kena musibah. Kebakaran, jadi kami hanya
mengandalkan dana saluran dari masyarakat, tapi masih kurang. Sampai akhirnya
datang seorang wanita menawarkan menjadi donator panti asalkan kami mau pindah
ke Bandung. Jadi Ibu panti kami memutuskan untuk pindah kesini.” ceritaku yang
didengar seksama olehnya. Tidak. Tidak hanya dia, seisi kelas bahkan
mendengarnya.
“Kalau
gitu, salam kenal ya.. Aku Tarra.” ujar teman sebangkuku.
“Aku
Marsya.” ucap perempuan dibelakangku sambil menyunggingkan senyumnya. Dia tak
begitu cantik, tapi entah kenapa aku suka dengan tatanan poni datar ditambah
aksen pita dirambutnya, memberi kesan imut dan aku memberinya 8 untuk
penampilannya.
“Oh
ya, 2 bulan lalu, kami kemah ke Jogja lo, disana temen deket kami Gisel
meninggal.” suaranya merendah.
“Sya!
Aku kan udah bilang sama kamu, jangan pernah bilang kalau dia udah
meninggal!Toh sampe sekarang dia masih belum ditemuin kan!” bentak Tarra mendinginkan
suasana.
Marsya
cuma bisa menunduk.
“Hilang?”
tanyaku memberanikan diri.
“Iya,
Na. Gisel terpisah dari rombongan waktu kami outbond di tengah hutan. Dia
bilang dia cuma mau ambil topinya sebentar di camp, tapi dia ngga pulang-pulang
lagi. Kami udah coba cari tapi masih nggak ketemu. Yang bisa kami temukan cuma
syal dia dipinggir sungai disana. Orang-orang yakin kalau dia udah meninggal.
Tapi aku yakin kalau dia masih hidup. Pasti.” ceritanya sedikit lirih. Dari
ceritanya, sepertinya Tarra adalah teman baik Gisel. Wajar saja kalau dia yang
paling kaget dengan kedatanganku disini.
Aku
masih mengamati seisi kelas. Mencoba menghafal nama mereka dengan melihat buku
absensi kelas. “Jadi, namanya Wim” gumamku.
***
“Anna!” aku memutar leherku 90
derajat.
Wim menghampiriku. Sudah seminggu
aku disana, dan ia salah satu laki-laki yang menarik perhatianku. Aku hanya
heran, kenapa pada hari itu semua murid menatapnya saat dia bertanya tentang
asalku.
“Pulang bareng ya.” katanya memegang
pundakku.
Aku mengangguk lalu berjalan
beriringan dengannya. Tempat tinggal kami tak jauh.
“Wim, kenapa sih mereka liatin kita
kayak gitu?” tanyaku keheranan sambil mengamati mereka-mereka yang menatap
bingung kearah kami berdua.
Wim hanya tersenyum.
“Wim?” tanyaku sekali lagi.
Wim tetap hanya tersenyum.
Aku bingung. Sebenarnya, inilah yang
membuatnya menarik bagiku. Aku penasaran siapa dia sampai-sampai sekadar
menyapaku pun, seisi kelas sudah terkejut.
***
“Ra, kamu tau nggak sih kenapa tiap
aku lagi sama Wim semua orang pada ngeliatin kami?” tanyaku disela-sela meneguk
es teh manis yang baru diantar oleh Mbak Ginar, penjual es di kantin sekolah.
“Wim itu sahabat Gisel. Lebih
dariku. Dia sama Gisel itu temen kecil, jadi kemana-mana pasti sama Wim, lebih
kayak pacaran, Na. Tapi, sejak Gisel hilang, Wim berubah banget. Dia jadi suka
menyendiri gitu dikelas, dia juga sering bolos, nilai-nilai dia juga turun
drastis.”
Aku tertawa kecil. “Jadi cuma
gara-gara perempuan? Apa orang tuanya nggak marah sama dia?”
Tarra menggeleng, “Dia tinggal sama
adeknya doang, orang tuanya udah meninggal, kecelakaan. Satu-satunya orang yang
bikin dia bisa bangkit dari keterpurukan itu ya cuma Gisel. Gisel juga pernah
nyelametin dia pas tenggelam waktu kita liburan bareng.”
Aku terdiam. Wajar saja Wim sangat
terpuruk saat Gisel hilang. Wajar juga kalau semua orang heran melihat dia yang
sudah berubah lagi. Karena kalau aku ada diposisi mereka juga aku bakal
bingung. Wajah sama bukan berarti orang yang sama, kan? gumamku dalam hati.
“Anna!” pekik seseorang dari
lapangan.
Aku melambaikan tanganku sambil
tersenyum kearahnya. Wim menghampiriku.
“Pulang nanti aku ada ekskul basket.
Kamu duluan aja.”
Aku menggeleng, “Nggak ah, aku
tunggu aja.” Sejujurnya, ada yang ingin kutanyakan pada Wim, tentunya tentang
Gisel.
“Ekskulnya satu jam setengah loh.
Nanti kamu nungguinnya lama.”
Aku sekadar tersenyum, “Nggak apa,
Wim. Aku juga lagi kepingin baca-baca buku di perpus. Nanti aku tunggu disana
aja ya.”
Wim balas tersenyum. Kemudian ia
menghilang dari pandanganku setelah Ryoto menarik lengannya mengajaknya kembali
main volley.
***
“Apa nggak bosen, Na?” tanyanya
diperjalanan pulang.
Aku menggeleng, “Oh iya, ada yang
mau aku tanyain.”
Langkah kami terhenti. Aku dan Wim
memutuskan untuk duduk dulu disebuah taman komplek yang cukup sepi sore itu.
“Ini tentang Gisel.” ucapku
hati-hati.
Aku melihat raut wajah Wim yang
mulai berubah. Sebenarnya, aku agak takut memulai pembicaraan tentang Gisel
dengannya, tapi apa boleh buat? Rasa penasaran sudah berkecamuk.
“Apa?” tanyanya pelan.
“Aku tau kalau aku dan Gisel punya
wajah yang sama. Tapi kami bukan orang yang sama, Wim. Aku bukan Gisel.”
Wim menggelengkan kepalanya.
“Wim, kamu harus coba terima
kenyataan kalau aku bukan Gisel. Aku tau itu pasti berat buat kamu. Tapi aku
ngerasa kalau kamu deketin aku cuma karena aku mirip Gisel. Aku kadang ngerasa
nggak jadi diri aku sendiri. Apalagi kamu sering banget manggil aku Gisel. Aku
ngerasa aku bukan Anna.” keluhku masih secara hati-hati.
Wim hanya terdiam. Dia sama sekali
tak menanggapi ucapanku.
Pembicaraan kami sore itu hanya
sampai disana. Baik aku maupun Wim, sama sekali tak ada yang mencoba
menghangatkan suasana yang dingin ini.
***
15
Februari 2013
Satu bulan sejak aku pindah ke
Bandung, aku semakin nyaman tinggal disana. Wim dan aku juga semakin dekat.
Kami tak pernah lagi menyinggung tentang Gisel. Walaupun sebenarnya, aku tahu
jelas, sesekali Wim seringkali tak sengaja menyebutku Gisel. Aku tak begitu
mempermasalahkannya. Melihat Wim yang tersenyum kepadaku aku tak kuasa untuk
memarahinya atau mencoba mengembalikan suasana seperti sore itu. Aku sepertinya
jatuh cinta pada sosok Wim. Entah kenapa, aku merasa tak perlu menunggu lama
untuk menerka isi hatiku karena setiap hari, dia selalu melintas dibenakku.
Sampai hari ini tiba, dimana Wim
akhirnya mengungkapkan semua rahasia tentangku yang bahkan tak kuketahui.
“Anna..” ujarnya membangunkan
lamunanku.
Kami duduk disebuah café yang tak
begitu jauh dari rumahnya. Café itu tak seramai biasanya, jadi kami merasa
lebih nyaman.
“Ya?” ucapku setelah meneguk
secangkir kopi putih.
“Selama ini, aku udah coba untuk
menganggap kamu bukan Gisel, aku udah coba untuk lupain bayang-bayang Gisel dan
menerima kenyataan kalau kamu adalah Anna. Tapi aku nggak bisa…” ujarnya agak
lirih.
Ia melihat kejalanan yang sedang
sepi malam itu, kemudian meneruskan ucapannya, “Aku begitu risih dengan semua
yang aku rasa, sampai aku harus mencari tahu semuanya.”
Aku mengerenyitkan dahi. “Cari tahu
apa, Wim?”
“Bu Wanda, dia nggak pernah cerita
apa-apa sama kamu? Tentang kamu?” tanyanya padaku.
Aku membelalak. Wim pasti sudah tahu
apa yang menimpaku 3 bulan yang lalu. “Tentang kecelaanku?”
Wim mengangguk.
“Kenapa? Kamu kaget ya? Aku
bermaksud cerita kekamu disaat kamu udah bener-bener nganggep aku Anna, Wim.”
ujarku dengan senyuman.
Wim menggeleng. “Kamu Gisel, Na.”
Aku lagi-lagi terbelalak. Cangkir
kopi yang kupegang pun bahkan tanpa sengaja terjatuh begitu saja. Café yang
tadinya sepi sekarang sudah gaduh karena kecerobohanku. Buru-buru aku meminta
maaf dan pergi bersama Wim keluar café. Berjalan pelan menuju taman komplek.
“Maksud kamu apa sih, Wim?”
“Jujur deh, Na. Sejak awal aku sudah
yakin kalau kamu itu Gisel. Hati tuh ngga pernah bisa bohong. Dia selalu
nunjukin mana yang bener mana yang salah. Selama ini, aku nggak pernah
sekalipun berpikir kalau Gisel bakal bener-bener pergi. Aku yakin dia pasti
kembali. Dan bener..” katanya terputus oleh tawaku.
“Apaan sih Wim? Kamu nggak usah
bercanda deh. Nggak lucu. Jelas-jelas aku Anna kok. Kamu main gih sesekali ke
panti aku. Liat foto-foto kecilku.”
Wim menarik nafas pelan. “Itu bukan
kamu. Bu Wanda bohong, Na. Kamu tahu kan kalau kamu lupa ingatan sejak
kecelakaan yang kamu bilang itu?”
Aku mengangguk. Benar, aku memang
lupa ingatan. Tapi, Bu Wanda sudah menceritakan semuanya padaku. Mulai dari
masa kecilku, alasan kenapa orang tuaku menempatkan aku dipanti, bahkan
kecelakaan itu.
“Bu Wanda udah cerita semuanya,
Wim.”
Wim menggeleng, “Dia cuma nggak mau
kamu berusaha nginget apa yang nggak bakal kamu inget, Na!” ujar Wim agak
kasar.
“Apasih Wim? Aku lebih percaya Bu
Wanda ketimbang kamu. Kamu aneh!” balasku membentak.
“Na, percaya sama aku. Bu Wanda cuma
nggak mau kamu lebih sakit. Dokter bilang, kalau kamu dipaksa nginget sesuatu
dimasa lalu, kamu malah bakal tambah sakit. Jadi Bu Wanda mutusin untuk nggak
maksa kamu nginget semuanya. Dan foto kecil kamu itu bukan kamu! Itu anaknya Bu
Wanda yang udah meninggal, Na.”
Aku hanya terdiam. Menggelengkan kepala
dan tersenyum sinis kepada Wim. Omong kosong macam apa itu. Aku berdiri dan
meninggalkan Wim secepat mungkin supaya ia tak meneruskan omong kosongnya itu.
Sementara dari kejauhan, aku menoleh
dan melihat Wim yang masih terduduk di bangku taman menundukkan kepalanya. Dia
terlihat sedikit lemas, Ah entahlah! Aku tak memeprdulikannya.
Aku bingung dengan semua yang Wim
katakan. Aku tak percaya dan memilih untuk tak menanyakan apa-apa pada Bu
Wanda. Sejak hari itu, Wim kembali seperti yang pernah Tarra ceritakan, dia
hanya diam dan menyendiri. Aku pun tak ingin mencoba mengembalikan senyumannya.
Aku terlanjur kesal dengan semua omong kosong yang ia katakan.
***
“Anna…” panggil Bu Wanda yang sudah
berdiri didepan pintu kamarku.
Aku menoleh dan tersenyum lalu
menghentikan alunan piano Yiruma dari handphone-ku. Bu Wanda duduk disebelahku,
Ia membelai rambutku pelan tanpa berkata apa-apa.
“Ada apa, Bu?”
“Ibu kok nggak lihat Wim nganter
kamu pulang lagi ya?”
Aku tersenyum getir. “Lagi nggak
akur, Bu.” jawabku singkat tanpa memberitahu alasan apa-apa, karna aku sama
sekali tak bermaksud menanyakan omong kosong yang Wim katakan hari itu.
Bu Wanda masih membelai rambutku
pelan, ditatapnya mataku kemudian sebelah tangannya menyentuh pipi kananku.
“Maaf, Gisel.” ucapnya
mengagetkanku. Membuatku hampir jantungan. “Benar kata Wim, jadi kamu jangan
marah sama dia.”
“Ibu apa-apaan sih? Dia pasti minta
tolong Ibu, ya. Udah ah, aku mau tidur, Bu.” ucapku ketus karena Bu Wanda juga
mengatakan omong kosong ya sama.
“Dia nggak bohong.” kata Bu Wanda
sedikit lirih karena airmata nya mulai berjatuhan.
Aku tak bermaksud menyakiti Bu Wanda
dengan kata-kataku, aku menghapus air mata nya dan mencoba berpikir jernih atas
apa yang baru saja Bu Wanda katakan.
“Bu, aku bahagia kok jadi Anna. Ibu
nggak perlu merasa bersalah.”
Bu Wanda menggeleng, ia mengambil
bingkai foto kecil foto masa kecilku bersamanya. “Namanya Diana. Anak Ibu
satu-satunya. Ia seusia kamu, setahun yang lalu, ia meninggal, setelah operasi
ginjal. Ibu masih belum bisa nerima kenyataan kalau dia udah nggak ada. Dan, 3
bulan yang lalu, Ibu menemukan kamu, kamu terdampar di pinggir sungai dekat
panti. Awalnya, Ibu bermaksud pura-pura tak tahu karna ibu takut. Tapi, ibu
kepikiran Diana, Ibu liat kartu identitas yang ada disakumu.” Bu Wanda
menyodorkan sesuatu dari saku roknya. Identitas Gisel.
“Ibu membawa kamu ke rumah sakit dan
dokter bilang kalau kamu lupa ingatan. Tadinya, ibu bermaksud mengembalikanmu
ke alamat yang ada di kartu identitas itu. Tapi setelah ibu kesana, tetangga
disana bilang kalau orang tuamu baru saja meninggal…” Bu Wanda menangis semakin
menjadi-jadi, kemudian ia menyambung ceritanya, “bunuh diri.”
Aku tersentak kaget. Tak kusadari,
air mataku mulai mengalir bulir demi bulir. Kutatap wajah Bu Wanda seakan tak
percaya.
“Ibu nggak pernah tega mengatakan
semuanya sama kamu. Ibu juga nggak mau membuat kamu lebih sakit dengan memaksa
kamu mengingat semuanya. Sampai akhirnya, Tuhan membalas Ibu dengan musibah
untuk panti ini. Ibu ngerasa bersalah dan akhirnya memutuskan untuk pelan-pelan
mengembalikan ingatan kamu dengan memasukkan kamu ke sekolah kamu yang
semestinya. Ibu kira, kamu akan ingat pelan pelan.”
Aku hanya terdiam, masih dengan
tangisan yang semakin menjadi-jadi. Bu Wanda pelan mengusap air mataku. Dia
tahu kalau aku takkan sanggup berkata apapun saat ini. Dia pergi meninggalkanku
dan aku mendengar samar-samar ditengah tangisku yang pecah kalau dia bilang
“Maaf.”
Aku tak bisa tidur malam itu. Aku
hanya mengisi malam hari itu dengan tangisan. Seolah tak percaya dengan apa
yang aku alami.
***
18
Februari 2013
“Wim, aku mau bicara.” aku
mengirimkan pesan singkat untuk Wim.
Aku dan Wim sudah duduk bersebelahan
disebuah bangku ditaman. Lagi-lagi, ditempat ini ada sesuatu yang mungkin akan
mengubah hidupku.
“Aku… tolong bantu aku menjadi
Gisel.” ujarku sambil memejamkan mata, takut melihat dunia yang semakin lama
semakin mengungkap beribu rahasia.
Wim tersenyum, ia merangkul pundakku
tanpa berkata sepatah katapun.
***
15
Januari 2015
Hari
ini, tepat 2 tahun aku tinggal di Bandung. Semakin lama, aku merasa semakin
nyaman. Berkat Wim, semua yang terasa berat menjadi mudah. Aku hidup sebagai
Gisel, dengan ingatan yang pelan-pelan mulai jelas dibenakku. Siapa orang
tuaku, siapa teman-temanku, bagaimana kehidupanku. Aku sudah ingat semuanya.
Dari kisah hidup yang semakin lama semakin jelas diingatanku, aku belajar bahwa
benar apa yang pernah Wim katakan, “Hati tak pernah salah, hati akan menemukan
yang benar meskipun semua mengatakan kalau itu salah. Karna hati melihat lebih
dalam dari mata.”
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[Surat kecil dari Wim
untuk Gisel yang tak pernah tersampaikan]
17 Oktober 2012 (hari pertama aku
kehilanganmu)
Lucu
ya? Aku laki-laki tapi lemah. Aku laki-laki yang cengeng. Menangis setiap malam
setiap kali mengingatmu. Mereka bilang kamu sudah pergi, tapi hatiku yakin kamu
masih ada. Sekalipun kamu pergi, kamu tetap ada buatku. Aku tak pernah
menganggap kamu benar-benar pergi bahkan ketika aku harus menemui kenyataannya.
15 Januari 2013
Hari
ini aku bertemu kamu! Hatiku benar!! Aku menemukanmu! Walaupun aku tak punya
apa-apa yang bisa meyakinkan mereka kalau kamu adalah Gisel, tapi aku yakin
karena lagi-lagi hatiku bilang kalau kamu Gisel! Aku percaya kalau suatu hari
nanti hati akan menemukan kebenarannya.
15 Februari 2013
Hari
ini aku coba menyampaikan rahasia tentangmu. Tapi, aku salah. Caraku salah,
lagi-lagi aku salah. Apa yang harus kulakukan?
18 Februari 2013
The heart find the right! The
heart never be wrong! I’ve got her back , I love you, Gisel!
15 Januari 2015
Tuhan
menghadiahkan yang terbaik untuk umat-Nya.
Thanks for the best gift I’ve ever had.
I’ve found the right, God.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar