Kamis malam. sunyi.
Aku merogoh kembali selimut cokelat-ku, membenamkan wajahku kedalamnya, supaya tak terasa lagi sentuhan dingin enam belas derajat yang kusetel. Aku mencoba memejamkan mataku, supaya segera tenggelam dalam mimpi, supaya pergi sebentar dari realita, supaya bisa bertemu lagi dengan sosok itu. Tapi yang kudapati adalah langit-langit kamar ini lagi. Aku belum bisa tidur. Aku belum bisa bertemu sosok itu. Atau aku yang memang sama sekali tak diijinkan menemuinya.
Aku bangkit. Meraih telepon genggam yang sudah kuletakkan jauh-jauh dariku tadinya. Menyentuh beberapa sudut benda itu dengan harap menemukan sebuah pesan atau apapun dengan namanya. Lagi, kan? Lagi-lagi dia.
Aku mencoba menyentuh kembali beberapa sisi benda itu, setelah tak kudapati apapun tanda-tanda kehadirannya. Kubalas beberapa pesan-pesan lain, mencoba mengisi kekosongan malam ini. Setidaknya aku tidaklah kesepian. Kuraih headset yang kuletakkan tepat dimeja belakangku sembari mencari alunan apa yang hendak kudengar. Kuputuskan memilih lagu itu.
Kudengar sebuah musik disana, untaian kata-kata yang terucap dari seseorang disana, indah, tapi sakit. Entah aku yang terlalu bodoh atau aku yang tidak pernah lelah menjadi bodoh, aku tak tahu. Aku seolah menambah beban dipundakku, seolah mengoyak ingatanku kembali, Kemana ya, sosok itu? pikirku dalam batin.
Tanpa sadar, aku turut melantunkan kata-kata diujung sana, seolah berduet dengan sang penyanyi disana. Menyanyi layaknya lagu itu memang diperuntukkan kepada kisah ku (kita). Sampai tuts piano terakhir berbunyi, barulah aku tersadar dari lamunanku. Aku baru saja menitihkan air mata.
Aku menghela nafas panjang. Seolah tahu akan perasaanku, benda itu kini mencoba menghiburku. Tak ada lagi kata-kata lirih yang mungkin menambah bulir air mataku saat ini. Yang ada adalah ribuan kata yang terucap dengan cepat ditambah musik yang menggebu-gebu. Seolah memberiku secercah semangat, supaya aku tak lagi larut dalam kesedihan malam ini.
Aku tersenyum. Kali ini, kurebahkan kembali tubuhku dan memejamkan mataku perlahan. Satu. Dua. Belum sampai tiga detik, aku mendengar sebuah dering singkat. Aku segera membuka mataku sambil mengerenyitkan dahi dan mengutuk bunyi yang coba menganggu tidurku malam ini itu. Kembali, perlahan dengan beberapa ketukan, aku membuka pesan singkat yang baru saja kukutuk itu. Sebelum kembali mengutuk untuk yang ketiga kalinya, aku terdiam sesaat. Tidak. Lebih dari sesaat. Bahkan hentakan musik ditelingaku seolah tak kunjung datang.
Kenapa harus ada sosok itu? Aku tak tahu harus senang atau sedih. Selalu begini. Bukan pertama atau kedua kali ini terjadi. Selalu, setelah aku melepas, aku kembali dihampiri. Sampai kapan? Aku, manusia biasa, punya rasa jenuh, punya hati, punya rasa sakit. Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi untuk kesekian kalinya. Seperti mendapati pupuk setelah tanamannya mati, kau tahu?
Sebenarnya, apa yang sedang kurasakan ini, apakah kau rasakan juga? Aku meragu. Kupererat genggamanku pada benda itu sembari menerawang pikiran-mu yang tak pernah bisa kujamah. Sampai kapan? Sampai dimana lagi aku kau bawa dalam dunia angan-angan tak jelas ini? Beritahu aku. Supaya aku tahu kapan aku harus berhenti, supaya aku tahu pula akhir dari kisah ku (kita) ini. -m-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar