“Sel, tugas Pak Bondan udah buat?” tanya Ocha menghampiri
Selline yang tengah duduk santai di taman menikmati secangkir kopi instan.
“Udah. Kenapa?”
“Boleh pinjem? Aku udah 2 kali missed pelajaran Pak Bondan.
Jadi, you know lah.”
“Iya, pinjem aja.”
“E.. sel?”
“Ya?”
“Kemarin, Joseph bbm aku.” Ocha kembali meneruskan
ucapannya, “Dia nanya-nanyain kamu tuh.”
“Apa?”
“Ya, nanya-nanya biasa. Kamu masih baik-baik aja kan sama
dia?”
Selline menarik nafas panjang, “Ocha, sudah dari setahun
yang lalu kan aku bilang, aku itu gak pacaran sama Joseph.” nada Selline mulai
meninggi.
“Iya-iya. Aku sih emang agak gak percaya, tapi ya kalo
dipikir-pikir, gak mungkin juga. Ah, udahlah.”
“Hm..” jawab Selline acuh. Entah apa yang terbesit
dipikirannya. Semuanya terasa runyam.
“Sel?” Ocha kembali menyebut nama itu.
“Kenapa?” Selline menjawab dengan nada yang tinggi.
Kali ini, Ocha membatalkan apa yang ingin ia ucapkan.
Biarlah Selline mengetahuinya sendiri nanti.
Hari-hari dijalani Selline seperti biasa, tanpa ada yang special
atau menarik. Sudah terlalu sulit baginya mendapatkan yang special semenjak
malam itu. Meskipun ada Leo yang setiap hari menjadi ojek-nya bahkan ada Arfan
yang setiap minggu selalu membawakannya setangkai mawar putih, tetap saja semua
itu tidak sehangat dulu. Sampai hari ini tiba. Hari dimana Selline harus
merasakan jantungnya berdetak 1500 kali permenit dan matanya sudah 100 detik
tidak berkedip hanya karena orang ini.
“Wow bro! Kabar itu bener ternyata.” ujar seseorang menepuk
pundak laki-laki itu.
“Kabar?”
“Ya, Joseph pindah kesini. Gitu kata temen-temen yang lain,
ternyata bener. Kenapa pindah man?” Roy menyunggingkan senyumnya.
Selline hanya bisa menatap itu dari kejauhan. Ia
bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia harus dipertemukan dengan masa lalu?
“Sebenernya, waktu itu aku mau kasih tau kamu sel, tapi
kamunya kayaknya lagi marah gara-gara aku ngobrolin Joseph.” Ocha menyadari
bagaimana seorang perempuan yang duduk disebelahnya itu begitu terperangah
melihat kehadiran “teman lama”.
Tak banyak yang ia lakukan. Berjalan bersama Roy entah
kemana. Sementara Selline hanya melihat “ia” dari kejauhan. Sesak rasanya.
Terlalu berat untuk menghadapi masa lalu. Kenapa masa lalu ini datang kembali?
“Dia.. masuk fakultas apa?”
“Hukum sel, sama kayak kita. Di Jakarta, dia sering bolos,
jadi udah berapa kali dapet SP. Sampe akhirnya orang tuanya maksa dia ikut
ortunya disini. Katanya, biar ga bolos.” Ocha menjelaskan.
“Dia tau aku disini?”
“Ya iyalah. Makanya dia mau kesini.” Elis menjawab dengan
lugunya.
“Oh.” Jawabnya pelan bahkan hampir tak terdengar oleh kedua
temannya.
Selline tidak tau apa yang harus ia lakukan. Ia hanya diam,
terpaku masih menatap sosok seorang dari belakang itu tanpa berkata apa-apa.
Masih aneh, rasanya. Debar jantung, mata yang terbelalak, dan tubuh yang seakan
kaku itu tidak dapat dipungkiri masih menyimpan secercah harapan. Kali ini
benar, ini bukan kelabu. Ini nyata dan perlahan, Selline mulai menyunggingkan
senyumnya kearah kedua temannya. Ocha dan Elis hanya saling melirik dan seakan
mengerti maksud senyuman itu.
***
Ini adalah hari baru, Selline mencoba membuka buku usang
yang tersimpan rapi di laci meja kamarnya. Ia tersenyum melihat sebuah tulisan
tinta hitam yang telah memiliki jawaban, “Ya”, ujarnya dalam hati, sambil
menatap lembar paling akhir dari buku harian itu, “God has given to me my destiny, J”. Segera,
ia menyelipkan sebuah kertas kecil dihalaman paling akhir buku itu. “This day
is the 20nd ours. You’re truly mine, and I’m truly yours, J”
Nb:
Selamat datang kembali masa lalu, inikah yang mereka sebut
tentang cinta? –kalimat terakhir Selline dalam buku hariannya yang ia tulis dua puluh tiga tahun yang lalu.
happy ending:)
BalasHapus