Apakah hanya untuk kamu aku
tercipta? Tidak, bukan? Tapi kenapa sampai detik ini hanya kamu yang sejatinya
membuat otak ini mengingat satu nama orang dan membuat jantung ini berdebar
sepuluh kali lipat ketika bersama seseorang? Akankah aku menyambut kebahagiaan
yang kusebut dengan ‘mustahil’?
“Sell, bengong aja. Ayo, acara udah
mau mulai.” Ujarnya memanggil namaku.
“Iya.”
Jawabku singkat sambil berjalan dengan segala upaya untuk menyunggingkan senyum
dihari yang mereka katakan ‘perpisahan.’
“Ohya, tadi aku ketemu mama kamu, cantik ya.”
Aku hanya menyunggingkan senyum sedikit
(lagi). Tak ada yang harus kujawab dan tak ada yang bisa kukatakan. Hanya
sekedar basa-basi, bagiku.
“Kenapa diem aja? Kapan lagi coba kita
sama-sama kayak gini?” Rebeca menepuk pundakku.
“Aku bingung mau bilang apa.” Jawabku (masih)
dengan ekspresi datar.
Rebeca melihat sekeliling, kembali ia menepuk
pundakku, “Sell, liat Joseph!” ujarnya dengan penuh antusias.
“Iya, aku liat. Terus kenapa?”
“Yaampun Sel. Udah seganteng itu loh, liat
jasnya , sepatunya, awww! Beda sel beda.” Rebeca bertepuk tangan kecil.
Aku hanya menarik nafas panjang, “Iya,
Javen juga.”
“Jelas dong. Aku yang menyarankan dia pake
baju yang mana, sepatu, jas, ka…..”
Belum sempat Rebeca menyelesaikan ucapannya, aku langsung
memotong, “Iya-iya. Udah berapa kali kamu ngomong gitu.” Ya, memotong berarti
mempersingkat. Sebelum aku makin terdiam dan menyimpan rasa iri dalam hati.
Selama hampir 2 tahun, aku hanya sekedar
dicintai oleh seorang laki-laki yang kelabu. Kadang menghilang, kadang datang
dengan membawa sejuta cerita fiktif yang sepertinya ia persiapkan
berbulan-bulan. Berbeda dengan Rebeca, jelas. Hampir 2 tahun, ia memiliki
hubungan yang jelas dengan Javen. Bahkan mereka masuk ke universitas yang sama.
Berbeda denganku dan Jo………. Tidak. Maksudku, berbeda dengan aku dan Rebeca yang
hanya bisa menjalin persahabatan via telepon atau socmed lainnya. Ya, aku akan
pindah ke Bandung, sementara Rebeca masih di kota kelahiranku ini.
“Apa?” tanyaku seolah tak terkejut.
“Nih buat kamu.” ucapnya sambil tersenyum menyodorkan sebuah kotak sedang.
“Apa?” tanyaku kembali.
“Buka aja. Oh ya, kapan ke Bandung?” tanyanya datar.
Selline berdeham, “Besok aku sudah mulai
pindah. Eh… kamu satu universitas sama Javen?” tanyaku seolah tidak tahu.
“Iya. Dari dulu udah gak pisah. Hm… ohya,
aku kesana dulu ya.” Ujarnya menunjuk kearah teman-temannya yang sedang
berkumpul seperti membuat lingkaran arisan.
Aku hanya mengangguk. Ya, setidaknya, di hari
terakhir aku melihatnya, dia masih mengingatku. Perlahan aku berjalan keluar.
Menuju tempat parkir dan bersiap untuk pulang. Malam indah yang terhiasi oleh
tangisan beberapa orang tak membuatku merasa terpukau. Hanya ada rasa antara
senang atau sedih. Aku tidak tahu.
“Itu apa?” tanya mamaku yang sudah menunggu di
mobil.
Aku menggelengkan kepala, “dari Joseph.”
Mamaku hanya tersenyum. Semuanya seperti sudah
tahu tanpa perlu aku beritahu dari siapa hadiah itu. Ya, sudah langganan, kata
mereka.
“Bagus tuh.” Ucap kakakku sambil menimang
boneka elmo kecil.
Aku hanya berdeham. Mungkin mereka juga
merasakan ada yang aneh dariku. Terlihat dari raut mama yang sedikit
mengerenyitkan kening dan raut papa yang datar. Ya, aku harus berpisah dari
mereka. Bukan hanya temanku, tapi juga keluargaku, paling tidak, ini keinginanku,
bukan mereka. Aku memang telah memutuskan untuk meninggalkan monas yang selama
17 tahun kulewati dan menyambut tangkuban perahu yang tak pernah kukunjungi.
Meninggalkan seorang kelabu yang selalu kuharapkan, menyambut masa depan yang
kuharap jelas.
Selamat
tinggal Jakarta. Terima kasih untuk kenangan pahit&manis yang ada disini.
Selamat datang Bandung. Semoga aku bisa lebih mendapatkan kebahagiaan yang
selalu kukatakan ‘mustahil’ itu. Semoga aku bisa melupakan orang itu.
critny long disttance relationships ?
BalasHapusIya:) hehe
BalasHapus