Setelah membaca suatu karya tulis mungil tentang dia, saya mulai berpikir kembali ke masa lalu saya. Ingin rasanya saat-saat itu dihapuskan dari ingatan saya. Wajar, kan, kalau seseorang meletakkan harapan kecil untuk masa depan? Bukankah saya pernah bilang kepada seseorang disana kalau tanpa harapan kita tak tahu kemana akan melangkah? Samapun dengan saya yang pada waktu itu sedang menaruh harapan-harapan kecil lewat kertas berbentuk perahu yang saya alirkan disekolah dulu. Sampai saat ini, saya merasa harapan itu perlahan pergi. Entah kemana harapan itu mengalir. Yang jelas, saya terlalu takut untuk mengakui kalau harapan itu terlalu mustahil.
Alunan suara merdu seseorang disana yang terus-terusan menyebut Maybe Tomorrow saat ini menjadi lagu yang menemani saya dalam sepi. Membawa saya menuju titik awal dimana saya mulai menaruh harapan itu. Apakah saya harus meninggalkan harapan itu untuk membawa angan yang baru? Mungkinkah harapan itu memang benar mustahil adanya? Sampai-sampai saya terus-terusan menyebut 'tidak' ketika semua orang mulai menyinggung satu dari tiga harapan itu?
Terdengar sedikit aneh untuk memaksa harapan itu terwujud untuk saya. Masih saya ingat jelas bagaimana ucapan saya dengan riangnya berkata 'Ini akan terjadi' saat saya mengalirkan harapan itu. Masih sangat melekat diingatan saya hari itu; Dimana hujan menjadi saksi bahwa saya menuliskan harapan saya dan mengirimkannya kepada Neptunus. Berharap seperti sebuah novel yang saya baca, kalau Neptunus akan membalas surat saya dengan menghadirkannya didunia nyata. Ah, itu terlalu mimpi, mungkin.
Sekarang saya merasa harapan itu benar-benar bukan untuk dibawa kedunia nyata. Mungkin, membiarkan harapan itu semu disana lebih baik daripada berkelanjutan menunggui harapan yang tak pasti. Meskipun disini seseorang yang ragu untuk membawa angan yang baru mulai kebingungan mendapati dirinya yang tengah mengais-ngais kenangan dulu.
buat galau:((
BalasHapus