Ini
waktunya api unggun. Malam kamis yang penuh keharuan. Haru karena aku
membayangkan sesuatu yang sama sekali tidak ingin aku bayangkan. Kejadian satu
bulan lalu dan kejadian 1 tahun lalu. Kenapa Januari begitu memusingkan?
Tidakkah aku bisa bernafas lega untuk malam ini? Kulihat semua anak tersenyum
bangga, tertawa bersama sambil membuat berbagai menu makanan. Kenapa aku tidak
mengikuti mereka? Kurasa aku akan membaik, segera.
“Hai
Eca. Lagi ngapain?” tanyaku basa-basi untuk menghilangkan ngantuk yang mulai
bersemi jam 8 malam.
“Kamu
gak liat? Aku lagi bakar jagung sayang.” Jawab Rebeca mungkin dengan perasaan
sedikit kesal.
“Boleh
aku coba satu?”
“Kamu
mau bakar atau makan?” Rebeca menanyakan pertanyaan itu dengan nada sungguh
mengancam.
“Kamu mau
tau aja atau mau tau banget?” tanyaku dengan secercah tawa yang seketika
lenyap.
“Aku
mau Javen.” Jawab Rebeca singkat sambil mengarahkan senyum termanisnya kea rah Javen
yang sedang bermain gitar lagu Jason Mraz.
Aku…. Aku
hanya tersenyum miris. “Ciee yang udah balikan. PB (pajak balikan) nya mana?”
“PB gak
jamann tauukk sel.”
Oh iya.
Kurasa aku akan bertambah miris disini. Rabu kah hari kesialan-ku? Atau memang
sudah takdirku untuk mendengar sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Lebih baik
aku pergi.
“Aku ke
tenda dulu ya, ca. Bosen.”
“Katanya
tadi mau nyoba satu. Nih jagungnya.” Ucap Rebeca sambil menyodorkan jagung
bakar yang sedikit gosong buatannya.
Aku
tersenyum menggeleng. Meninggalkan tempat itu saat itu juga. Kurasa, aku butuh
kesunyian. Oh Lord! Apa aku seburuk ini?
***
Pagi
Kamis. Kuharap, aku tidak akan merasakan hal yang sama untuk kesekian kalinya.
Ya, kuharap.
“Pagi
Selline.” Sapa Rebeca yang baru saja sehabis dari kamar mandi.
“Pagi.”
Jawabku singkat. Entah kenapa, agaknya… aku malas untuk menghiraukan Rebeca
untuk hari ini. Entah kenapa, aku berharap ada Joseph disampingku. Sama halnya
dengan Rebeca yang selalu ditemani Javen hari ini.
“Bosen
ya kemah gak jelas kayak gini. Cuma bimbing adek kelas.” Kata Joseph tiba-tiba
muncul dibelakangku yang sedang duduk dirumput menunggu giliran untuk
menyampaikan pesan kepada adik kelas yang akan mulai lomba memasak.
“Kamu
betul. Dan aku gak suka suasana kayak gini.”
Joseph
tersenyum. “Mau ini?” Joseph menyodorkan sebuah barang tak jelas berwana biru
yang berbentuk kotak biasa, namun terbuat dari kaleng. Kurasa itu hanya
makanan, yang akan menghiburku dengan rasa suntuk ini.
“ini
apa? Makanan? Aku sudah kenyang.” tanyaku dengan rasa keingintahuan yang sudah
memuncak.
“Kalo
kamu pengen tau, kamu harus pegang benda ini. Dan kalo kamu pegang, berarti
kamu terima.” Ucap Joseph jelas dan penuh semangat. Beda dengan ku yang sedang
lunglai bagai mayat hidup.
“Sini.”
Ujarku sambil membuka telapak tangan bersiap menerima benda itu. Aku tak butuh
waktu untuk main-main. Aku sudah bosan dan saat ini segala sesuatunya ingin
kubuat berjalan lebih cepat.
Joseph
menyodorkan benda itu. Aku membuka tutupnya perlahan.
“Waw..”
ucapku singkat dengan penuh perhatian untuk isi didalamnya.
Joseph
tersenyum, “Hm, itu miniature keluarga doraemon. Kalau kamu tekan tombol merah
itu, lampu dari setiap miniatur akan menyala. Biar kupraktikan.” Joseph menekan
tombol merah. Benar. Kilauan cahaya memukau dari kotak tak jelas yang sekarang
menjadi milikku. “Kalo kamu tekan tombol yang kuning, Cuma kotaknya yang ada
lampu, kalo yang hijau, kotak ples miniaturnya bercahaya. Kamu suka?” Joseph
menjelaskan panjang lebar. Sementara aku tak begitu memerhatikan, aku terlalu
asyik mengamati miniature itu.