Sabtu, 04 Januari 2014

Pergi

Sabtu malam, hujan.




Pergi dan sepi. Dua hal yang selalu mengunjungi saya setelah suatu pertemuan. Tak akan jadi masalah kalau yang saya temui bukan kamu, mungkin. Tak akan jadi masalah kalau pertemuan kita tak saya lebih-lebihkan kala itu. Tak akan jadi masalah kalau pertemuan singkat itu tak saya ambil hati. Tapi sekarang? Saya terlanjur menaruh hati untuk kamu, sedikit.

Kamu datang pada saya, sesaat. Awalnya saya tak begitu menghiraukan keberadaan kamu, sekalipun kamu datang dengan untaian kata-kata manis itu. Itu hanya sekedar awal. Lalu, saya perlahan mulai menyadari adanya kamu dalam setiap hening saya, saya merasa lengkap, saya merasa ada satu dalam nol. Entah kenapa, saya terlalu gengsi untuk mengakui kalau saya senang dengan adanya namamu dalam layar handphone saya berkali-kali ini. Jujur, saya merasa seseorang dimasa lalu saya telah kembali; melalui kamu.

Untuk sepekan, kamu memperlakukan saya seperti saya adalah satu-satunya kamu, sementara saya tak begitu menunjukkan rasa senang saya buatmu. Entah apakah kamu sadar atau tidak. Dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, kita masih sama; penuh dengan gurau. 

Jujur, kamu sangat mirip dengan masa lalu saya; amat sangat mirip. Sampai saya harus kembali jatuh untuk kedua kalinya. Hanya sepekan saja, kamu menjadi pelopor penyemangat untuk saya; "hanya sepekan, tak lebih dan tak kurang". Singkat, bukan? Kamu terlihat seperti seorang pemberi harapan palsu, ya? Sadar atau tidak, kamu telah melambungkan saya, kemudian dengan mudahnya menjatuhkan saya.

Kamu pergi. Tak ada lagi namamu yang selalu muncul di layar handphone saya, tak ada lagi gurauan antara kita seperti sepekan lalu. Sepi. Saya merasa kehilangan. Sesingkat itu kamu membuat saya menaruh hati buatmu, dan ternyata sama sekali tak sesingkat itu saya bisa menghilangkan rasa sepi karena kepergianmu. Sebenarnya, tak akan masalah kalau kamu pergi bukan untuk dia; masa lalumu.

Hai, kamu. Disini, saya masih sedikit mengharapkan keberadaan kamu. Saya merasa sepi setelah kamu pergi. Saya rindu sepekan itu. Hanya dua pilihan yang saya inginkan untuk kamu ambil. Apakah kamu akan kembali pada saya tidak hanya sepekan lagi, ataukah kamu lebih baik menerima karma atas sakit yang saya rasa karenamu. Egois, ya? Tapi, kamu harus tau bagaimana pedihnya saat sayap patah ketika terbang. -m-

Kamis, 19 Desember 2013

Maaf, saya ingin p(indah)


Sampai kapan saya harus diam disini? Saya terlampau lelah untuk mengharapkan kamu akan kembali seperti janjimu dulu itu. Saya terlampau sabar untuk terus menunggui kamu yang sebenarnya tak jelas keberadaannya. Saya ingin pergi, karna saya sadar apa yang saya lakukan tak cukup berarti. Mungkin, ini waktunya saya untuk berpindah.
            Mungkin, pindah adalah cara terbaik untuk menyudahi perasaan lelah saya selama ini. Mungkin, dengan pindah, saya bisa mendapatkan kebahagiaan yang selalu saya impikan, tanpa kehampaan, tanpa kebohongan, dan tanpa kepalsuan. Biarkanlah saya menggantungkan kisah kita, saya sudah kehabisan sabar untuk menjemput kamu. Saya sudah bosan, saya ingin pindah. Melepas kenangan dan menjemput kebahagiaan dengan p(indah).
            Tapi tenanglah, saya tak akan membiarkan kamu untuk menjadi butiran angin lalu; sekalipun saya sudah terlanjur sakit karenamu. Saya memang pindah, bahkan mungkin tak akan terbiasa awalnya, tapi saya yakin, pindah adalah jalan terbaik untuk saya. Karena meskipun pindah menyimpan resah, saya percaya pindah juga menyimpan indah. –m–

Selasa, 17 Desember 2013

Ilustrasi: pindah.


Selasa siang. Panas.

Lagi, ini bukan cerita saya, ini hanyalah sebuah ilustrasi tentang bagaimana rasanya menghilang dari pandangannya, tentang bagaimana rasanya menghindar dari kenyataan cinta, dan tentang bagaimana rasanya pindah menuju sesuatu yang katanya indah. Selamat membaca:)

Sebenarnya, saya sudah lelah hanya untuk menunggui kamu yang tak kunjung datang. Namun, entah kenapa, saya belum ingin berpindah kepada yang lainnya. Sebenarnya, saya tidak ingin terus diam disini, mengharapkan kamu akan datang dengan seonggoh mawar atau ribuan puisi cinta yang nyatanya mungkin tak akan pernah terjadi.

Sejujurnya, saya bingung dengan apa yang saya lakukan. Setiap saya mencoba menghilang dari pandanganmu, kamu malah datang kepada saya. Walaupun kedatangan kamu itu hanya untuk hal kecil yang akan terlupa olehmu, tapi tahukah kamu kalau sebenarnya saya disini sangat bahagia bisa melihat wajahmu lebih dekat? Tahukah kamu kalau dimata saya, kamu adalah sosok sempurna? Sepertinya kamu tidak tahu itu.

Sampai akhirnya, sebuah berita bahagia datang menemui saya pagi itu. Dari kabar-kabar yang beredar, katanya kamu sedang menyukai seseorang. Otomatis saat itu juga, saya langsung bertanya-tanya siapa wanita itu. Dan tanpa dugaan sebelumnya, kamu ternyata dibilang menyukai saya. Jujur, saya merasa tenggelam dalam perasaan bahagia itu sesaat. Walaupun itu hanya sekedar berita dari mereka dan belum tentu fakta. Tapi memang sangat tak bisa dipungkiri betapa melonjaknya parameter hati saya hari itu. Apalagi setelah duduk disamping kamu, lalu kita memulai sedikit percakapan hangat. Bahagia saya adalah karna akhirnya saya bisa merasakan hati kamu mulai mencair dan tidak sebeku dulu lagi. Bahagia saya adalah karna saya bisa menatap kamu lebih lama dari biasanya. Bahagia saya adalah karna saya bisa merasakan cinta kepada kamu, lebih dalam lagi.

Sayangnya, saya memang terlalu bodoh dalam hal cinta. Setelah hari bahagia itu tiba, harusnya saya sudah bersiap akan ada hari buruk pula yang menimpa. Hari ini, waktunya. Seperti biasa, saya menerima pesan singkat dari-mu, membalas pesan itu dengan lagi-lagi berharap kamu akan membawa pesan itu menuju suatu pernyataan cinta. Tapi, saya sama sekali tidak pernah merasa bahwa pembicaraan kita akan berlabuh pada kata cinta. Sebenarnya, saya tak keberatan untuk menunggu lebih lama lagi, tapi saya sama seperti orang lainnya, yang katanya butuh kepastian. Itulah yang membuat saya tanpa sadar memancing kamu menuju curahan hati terdalam kamu yang selama ini telah kamu tutup rapat-rapat.

Raut wajah senang hinggap sesaat ketika kamu mulai bercerita tentang wanita idaman kamu itu. Berjuta keyakinan mulai bermunculan dalam benak saya, kalau hari ini penantian saya akan berakhir. Sampai kamu selesai menceritakan kisah tentang gadis itu, saya masih merasa yakin kalau yang kamu maksud adalah saya. Namun kenyataan yang ada, kamu malah membawa nama dia untuk kita perbincangkan. Kamu malah meruntuhkan harapan saya. Tahukah kamu kalau saya sempat menitihkan air mata saat kamu menyebut namanya? Sadarkah kamu kalau sedari tadi, balasan pesan buatmu adalah sebuah harapan saya? Sadarkah kamu kalau disisi ini, saya mencintai kamu lebih dari kamu mencintainya? Sepertinya kamu tidak sadar, tidak pernah.

Saya masih diam dalam tangis, mencoba mengais-ngais sebongkah kekuatan untuk menghentikan derai air mata ini, untuk tetap tegar dihadapan orang-orang lain, terutama dihadapan kamu. Tapi ternyata tidak. Saya tidak cukup mampu untuk membohongi perasaan kecewa ini. Saya tidak cukup mampu menerima pahitnya perjalanan cinta pertama saya. Jujur, saya lemah dalam hal cinta.

Perlahan, saya mencoba menghapus sedikit demi sedikit memori tentang kamu, mencoba menghilangkan kamu dari pandangan saya, meskipun saya tau kalau itu adalah hal terberat yang pernah saya jalani. Tahukah kamu kalau setiap tanpa sengaja saya melihat kamu, saya langsung pergi kesuatu tempat sepi yang jauh dari siapapun hanya untuk menutupi air mata yang perlahan akan mengalir dari mata ini? Tahukah kamu sudah berapa banyak rintihan air mata hari ini yang mengalir diatas pipi saya? Tahukah kamu kalau saya terlalu sakit untuk mencoba menghilang dari pandanganmu? Tahukah kamu kalau saya juga ingin kamu cari, ingin kamu perhatikan seperti dia yang selalu kamu cari dan selalu kamu perhatikan? Sudahlah, saya sudah terlampau sakit, saya sudah terlampau lelah akan segala kenyataan cinta pertama saya yang ternyata pahit dan getir.

Setelah benar-benar terbangun dari mimpi saya, barulah saya sadar siapa saya di mata kamu, dan siapa kamu dimata saya. Kita mungkin memang punya impian yang sama, sama-sama ingin mengejar yang dicinta seperti apa katamu waktu itu. Tapi, impian kita sangat berlawanan. Tidak mungkin saya harus selamanya mengejar kamu selagi kamu terus-terusan mengejar dia. Seperti kedua roda sepeda yang tak akan pernah bertemu ketika semuanya saling maju. Begitupun saya dan kamu. Mungkin benar kata orang, cinta memang tak harus memiliki. Mungkin ini adalah saatnya saya mengakhiri sisa harapan kecil yang saya genggam dan melepaskannya untuk berpindah menuju sesuatu yang indah. Pindah untuk sesuatu yang akan membawa saya menuju bahagia. Pindah untuk mencari harapan baru yang bukan sekedar impian. Pindah untuk menemui cinta yang nyata.
Sampai hari ini, saya masih mengingat jelas tentang kamu. Masih sesekali menyentuh bayang-bayangmu dalam mimpi saya. Saya sama sekali tidak berniat lagi untuk menghindar darimu. Saya juga tidak ingin melupakan kamu yang pernah mengisi hati saya, saya tidak mampu semudah itu untuk menghilangkan kamu dari ingatan saya. Yang saya perlu dan inginkan hanyalah sekedar berpindah. Dari hati-mu menuju hati lain; dari kehampaan menuju keberadaan; dari harapan menuju kepastian; dan dari kesedihan menuju kebahagian.

Hanya sekedar berpindah, siapa tahu, perpindahan akan mengantarkan saya pada sesuatu yang lebih indah. Move is better, isn’t it? -m-

Senin, 16 Desember 2013

Kode baru(?)

Senin siang. Hujan.

Untuk beberapa waktu kedepan, setiap penggunaan -m- di akhir posting, itu bukan kesalahan ketik, bukan emot, dan bukan juga inisial seseorang. -m- itu jadi kode baru buat posting cerita-cerita pendek yang dibuat cuma sebagai ilustrasi. Bukan dari kisah nyata dan bukan juga curahan hati saya, tapi diambil dari kisah kebanyakan orang yang bakal jadi cerita pendek dengan sudut pandang orang pertama. 
Jadi, jangan fikir semua yang saya tulis adalah saya, ya. Selamat membaca :)


Kamis, 24 Oktober 2013

Ilustrasi

Ini bukan cerita saya, bukan juga dongeng-dongeng yang pernah terngiang ditelinga dulu. Ini hanyalah sebuah ilustrasi tentang bagaimana sakitnya menunggu seseorang yang tak pernah mau ditunggu, bagaimana sulitnya mengungkapkan tiga kata yang sering orang bilang, dan bagaimana perihnya diabaikan oleh seseorang yang selalu diperhatikan. 

      Sebenarnya, saya sudah menyimpan lama perasaan ini. Sejak dulu, sebelum kamu mengetahui nama saya, sebelum saya menjadi teman dekatmu. Ketika itu, kita berada dalam jarak yang dekat, tanpa kamu tahu, saya mengamati kamu. Berdiri tepat dibelakang saya, sedang bercengkerama dengan seseorang dibelakang saya, salah satu temanmu. Dengan suara khas kamu, kamu mulai bercerita kepada dia tentang "game" yang kamu mainkan di handphone-mu tadi. Kamu bilang, kamu baru saja memenangkan game tersebut dengan nilai yang mengalahkan nilai temanmu. Saya melihat lagi kebelakang, pura-pura mencari sesuatu didalam tas yang telah bertaut dalam pundak saya, hanya untuk melihat kamu. Tidakkah kamu tahu? Saya diam-diam memperhatikan kamu? Mencari celah kecil supaya bisa melihat senyum kamu. Kamu pastinya tidak tahu.
      Lalu, setelah beberapa lama kita berada dalam satu kelas yang sama, saya masih sama seperti dulu, mencuri-curi waktu memperhatikan kamu dan mencari perhatian dari kamu. Sampai akhirnya, kita berada dalam satu kelompok tugas dan saling bertukar nomor. Saya sering sekali mencoba mencari alasan untuk memulai sms hanya demi melihat balasan dari kamu yang mungkin saja memberi emot titik dua tutup kurung. Tapi, setiap saya mengirimkan pesan, saya hanya mendapatkan kamu yang sepertinya datar-datar saja. Padahal, kalau kamu mau tahu? sudah berapa banyak saya mengetik dan menekan tombol "delete" hanya untuk mengirimkan satu pesan buatmu? Kamu tidak pernah tahu. Karna kamu menganggap saya biasa.
      Sampai suatu hari, saya kembali mengirimkan pesan untukmu. Melalui sebuah permainan yang sedang booming saat itu, saya mengajak kamu untuk bermain bersama saya. Truth namanya, saya meminta kamu untuk jujur tentang siapa yang kamu anggap paling spesial selain keluargamu dan Tuhan. Kamu tidak menjawab, tapi saya tahu ada yang kamu sembunyikan. Beberapa hari yang lalu, kamu sempat masuk dalam deretan gossip kelas. Katanya, kamu punya perasaan khusus untuk dia. Ya, dia yang memang cantik, dan terlihat sempurna. Entah saya yang terlalu menyanjungnya atau memang kenyataannya. Sampai akhirnya kamu bilang kepada saya kalau kamu paling benci menunggu. Entahlah, kenapa saya sedikit merasa sakit mendengar ucapan kamu. Sepertinya kamu harus menunggu dia yang sudah mencairkan hati kamu. Sampai saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus saya menunggu kamu yang tidak pernah menginginkan untuk ditunggu saya? Kenapa harus dia yang membuat kamu rela menunggu meskipun sebenarnya kamu benci menunggu? 
       Lalu, kamu mengutarakan balik pertanyaan yang sempat saya tanyakan buatmu. Entah apa yang harus saya jawab. Jujur memang katanya indah. Tapi, masihkah jujur itu indah saat kita tidak merasa bahagia atas kejujuran kita? Setelah sempat menghapus pesan dan mengetik lagi beberapa kali, saya memutuskan untuk tidak mengungkapkan tiga kata itu. Rasanya, sulit untuk mengaku suka pada orang yang sama sekali tidak menaruh hati untuk kamu. Bukankah, begitu? 
      Kamu masih belum mengungkap siapa orang yang spesial bagimu, sampai setelah lebih dari dua puluh kali saya menanyakannya, kamu masih belum ingin mengatakan. Sebenarnya, saya tidak ingin mendengarnya jika yang kamu maksud adalah dia. Sebenarnya, saya tidak ingin dikecewakan. Tetapi, bukankah wanita butuh kepastian? Tahukah kamu kalau saya begitu benci membawa namanya untuk kita perbincangkan? Tapi apa boleh buat, bukan hak saya untuk protes atau mengeluh dan memaksa kamu memilih saya. Saya bukan pilihan kamu, sepertinya.
      Bahkan, seberapapun banyaknya bentuk perhatian saya kepada kamu, kamu tetap mengabaikannya. Malah saya tidak tahu apakah kamu menyadari atau tidak kalau saya sudah memperhatikan kamu lebih dari teman. Sepertinya, kamu tidak tahu itu, tidak peka. Entahlah, saya yang terlalu berharap atau kamu yang terlalu kejam dalam hal ini. Yang saya tahu, saya ingin kamu menyadari bahwa saya tidak ingin kamu abaikan, tidak ingin kamu acuhkan. Boleh saja, bukan, apabila saya menaruh setitik harapan kepada kamu? Supaya saya tau bagaimana rasanya diperhatikan, supaya saya berhenti merasakan lelah karena diabaikan. Bisakah?

Minggu, 29 September 2013

Hujan hari ini.

Hari ini langit tidak baik. Ia menampakkan tangisnya yang mengalir cukup deras. Membuat seharian ini saya harus menarik ulur selimut dan menuliskan sesuatu yang mengingatkan saya kepada hujan. Hujan hari ini  menjadi isyarat penuh bagi saya kalau memang sejatinya langit tak akan pernah membiarkan temannya disini kesepian hari ini. Ia mampu membuat orang-orang mengenang masa lalunya. Lewat hujan, misalnya. Teringat kembali beberapa waktu yang lalu, saya pernah bicara tentang pengalaman saya menuliskan beberapa harapan dalam perahu-perahu kecil. Saat ini saya sedang berusaha membenarkan buraman memori itu dalam benak saya. Ingin rasanya waktu itu diulang. Dimana saya masih optimis dengan harapan-harapan saya waktu itu. Dimana saya mampu menyunggingkan seutas senyum dalam secarik kertas yang seolah menjadi perahu kertas waktu itu. Sekarang saya hanya diam dalam kenangan. Mencoba mengingat-ingat lagi memori tentang hujan. Oh ya, dulu saya pernah mendapat sebuah kalimat dari seseorang yang tanpa saya ingat siapa orang itu. Katanya, dia menyukai hujan karena hujan bisa membuat air mata kita tak terlihat walaupun kita menangis. Saya sepenuhnya menyetujui ungkapan itu. Rasanya, terlalu banyak kebaikan hujan terselip diantara kekurangannya. Entahlah apakah hujan hari ini juga akan membawa kenangan indah tersendiri bagi saya atau malah menambah kenangan buruk tentang hujan. Yang saya tau, saya menyukai saat-saat hujan, dimana saya bisa dengan mudahnya tertidur lelap dan bermimpi untuk sesuatu yang indah atau malah memimpikan sesuatu yang benar-benar saya impikan.  

Hujan hari ini, akankah memberi
kenangan baru bagi saya?

Jumat, 30 Agustus 2013

Harapan yang lalu dan angan yang sekarang

Setelah membaca suatu karya tulis mungil tentang dia, saya mulai berpikir kembali ke masa lalu saya. Ingin rasanya saat-saat itu dihapuskan dari ingatan saya. Wajar, kan, kalau seseorang meletakkan harapan kecil untuk masa depan? Bukankah saya pernah bilang kepada seseorang disana kalau tanpa harapan kita tak tahu kemana akan melangkah? Samapun dengan saya yang pada waktu itu sedang menaruh harapan-harapan kecil lewat kertas berbentuk perahu yang saya alirkan disekolah dulu. Sampai saat ini, saya merasa harapan itu perlahan pergi. Entah kemana harapan itu mengalir. Yang jelas, saya terlalu takut untuk mengakui kalau harapan itu terlalu mustahil. 
Alunan suara merdu seseorang disana yang terus-terusan menyebut Maybe Tomorrow saat ini menjadi lagu yang menemani saya dalam sepi. Membawa saya menuju titik awal dimana saya mulai menaruh harapan itu. Apakah saya harus meninggalkan harapan itu untuk membawa angan yang baru? Mungkinkah harapan itu memang benar mustahil adanya? Sampai-sampai saya terus-terusan menyebut 'tidak' ketika semua orang mulai menyinggung satu dari tiga harapan itu? 
Terdengar sedikit aneh untuk memaksa harapan itu terwujud untuk saya. Masih saya ingat jelas bagaimana ucapan saya dengan riangnya berkata 'Ini akan terjadi' saat saya mengalirkan harapan itu. Masih sangat melekat diingatan saya hari itu; Dimana hujan menjadi saksi bahwa saya menuliskan harapan saya dan mengirimkannya kepada Neptunus. Berharap seperti sebuah novel yang saya baca, kalau Neptunus akan membalas surat saya dengan menghadirkannya didunia nyata. Ah, itu terlalu mimpi, mungkin.
Sekarang saya merasa harapan itu benar-benar bukan untuk dibawa kedunia nyata. Mungkin, membiarkan harapan itu semu disana lebih baik daripada berkelanjutan menunggui harapan yang tak pasti. Meskipun disini seseorang yang ragu untuk membawa angan yang baru mulai kebingungan mendapati dirinya yang tengah mengais-ngais kenangan dulu.