Selasa, 06 Januari 2015

Tentang Desember Lalu



Selasa sore. Hujan. Dibulan Desember.


Tadinya, kukira aku selalu berpihak pada Desember. Tapi, ternyata tidak...
Bulan yang kupuja-puja dan kueluh-eluhkan kedatangannya ini tak lagi sama. 
Bukan masalah perpindahan lagi, ini juga bukan kepergian, ini bukan mauku, aku tak tahu apa ini yang dimaksud dengan penyesalan atau perpisahan.



Otakku kembali menerjemahkan berjuta kata beberapa waktu yang lalu. Dibulan yang sama dua tahun yang lalu. Ketika itu, aku masih menyukai Desember, meskipun sebenarnya aku sudah punya alasan untuk membencinya. 
Aneh jika kilas balik itu tiba-tiba terngiang dikepalaku. Aku malah terlihat seolah menumpuk tangis hanya untuk membenarkan sosok-sosok 'kalian'; Membuat aku menjadi sosok yang paling menyesali keadaan ini.


Sebenarnya, tak penting untuk diingat, tapi teringat.
Tak pantas untuk disesali, tapi menangis. Apa ini?

Aku pernah memikirkan datangnya hari ini. Dimana aku pada akhirnya akan kembali menjadi sosok dua tahun lalu. Bahkan aku telah membayangkan hal terburuk sekalipun. Tapi, kali ini berbeda. Bagiku, ini belum saatnya, ini belum waktunya aku merasakan kehilangan.

Ini terjadi, tanpa kutahu kapan semuanya dimulai.
Sebenarnya, siapa yang melempar batu lebih dulu? Aku atau kau?
Pengakuan saja tak cukup. Aku mau diantara kita, akan ada yang meletakkan kembali batu itu ketempat semula. Tapi, kutahu semua tak ada gunanya.
Suatu saat, kau pasti akan melemparkan batu itu (lagi). Seperti yang kurasakan saat ini.

Ini bukan kali pertama kau melemparkan batu itu. Awalnya aku tak merasa terluka, aku hanya mengeluh dan kembali memaafkan.
Ini juga bukan kedua kalinya aku menerima lemparan batu itu lagi, 
bukan juga yang ketiga..
Aku tak bilang ini lemparan keempat, aku tak cukup pandai dan tak cukup jeli menghitung berapa banyak yang kau berikan lalu kau ambil. Sedang kau? Terlalu pandai melempar diam-diam dan aku terlalu bodoh dalam menangkap lemparanmu. Aku malah lagi-lagi terkena kerasnya batu itu, merasakan sakit -dan sakit.

Aku tak bermaksud menyalahkanmu, aku hanya berniat mengungkapkan sisi lelahku ketika tak lelahnya kau lempari aku dengan batu itu.

Kali ini, aku makin memupuk tangisku, semakin banyak yang terngiang dikepalaku, semakin tinggi pula tumpukan tangis itu.

Kau tahu kalau aku selalu kesakitan dilempari batu itu, tapi... kenapa masih saja kau lempar jika kau tak ingin melihatku kesakitan? Sebenarnya kau mau apa? Membuatku terluka lalu berusaha agar aku secepat mungkin meninggalkanmu? Kau ingin hidup tanpaku?

Aku tak mengerti apa yang sedang kau pikirkan, aku tak tahu apa yang sedang kau lakukan sembari aku tersedu-sedu menangisi kepergianmu. Aku juga tak mau tahu apakah kau merasa bersalah atau tidak telah membuat aku menjadi begini rapuhnya. Aku hanya ingin tahu, mengapa lagi-lagi kau melempari batu itu padaku?

Aku sudah cukup lelah. Sudah cukup terluka. Aku tak cukup kokoh untuk tetap mengais senyum dihadapanmu. Inikah yang kau mau? 

Entah apa jawabanmu, apapun itu... satu-satunya yang ada di pikiranku adalah kamu terlanjur melakukannya. Terlanjur melempar batu itu lagi sampai-sampai aku kini telah benar-benar merasakan sakit dan membuang batu itu.

Sadarlah, kau.
Aku juga punya rasa lelah. 
Bukan salahmu, bukan juga mauku. Aku sama sekali tak pernah mengharapkan ini terjadi. 
Tapi setidaknya, aku pernah membayangkan hari ini, dimana sebuah luka semakin lebar dan mengoyak, sebuah pisau semakin tajam dan menusuk.

Aku bukan ingin menyinggungmu.
Hanya ingin kau paham, kenapa aku pada akhirnya memilih jalan ini.

"Aku tengah mencoba, menjadi seseorang - yang tak sanggup menitikkan senyum" -m-