Minggu, 29 September 2013

Hujan hari ini.

Hari ini langit tidak baik. Ia menampakkan tangisnya yang mengalir cukup deras. Membuat seharian ini saya harus menarik ulur selimut dan menuliskan sesuatu yang mengingatkan saya kepada hujan. Hujan hari ini  menjadi isyarat penuh bagi saya kalau memang sejatinya langit tak akan pernah membiarkan temannya disini kesepian hari ini. Ia mampu membuat orang-orang mengenang masa lalunya. Lewat hujan, misalnya. Teringat kembali beberapa waktu yang lalu, saya pernah bicara tentang pengalaman saya menuliskan beberapa harapan dalam perahu-perahu kecil. Saat ini saya sedang berusaha membenarkan buraman memori itu dalam benak saya. Ingin rasanya waktu itu diulang. Dimana saya masih optimis dengan harapan-harapan saya waktu itu. Dimana saya mampu menyunggingkan seutas senyum dalam secarik kertas yang seolah menjadi perahu kertas waktu itu. Sekarang saya hanya diam dalam kenangan. Mencoba mengingat-ingat lagi memori tentang hujan. Oh ya, dulu saya pernah mendapat sebuah kalimat dari seseorang yang tanpa saya ingat siapa orang itu. Katanya, dia menyukai hujan karena hujan bisa membuat air mata kita tak terlihat walaupun kita menangis. Saya sepenuhnya menyetujui ungkapan itu. Rasanya, terlalu banyak kebaikan hujan terselip diantara kekurangannya. Entahlah apakah hujan hari ini juga akan membawa kenangan indah tersendiri bagi saya atau malah menambah kenangan buruk tentang hujan. Yang saya tau, saya menyukai saat-saat hujan, dimana saya bisa dengan mudahnya tertidur lelap dan bermimpi untuk sesuatu yang indah atau malah memimpikan sesuatu yang benar-benar saya impikan.  

Hujan hari ini, akankah memberi
kenangan baru bagi saya?

Jumat, 30 Agustus 2013

Harapan yang lalu dan angan yang sekarang

Setelah membaca suatu karya tulis mungil tentang dia, saya mulai berpikir kembali ke masa lalu saya. Ingin rasanya saat-saat itu dihapuskan dari ingatan saya. Wajar, kan, kalau seseorang meletakkan harapan kecil untuk masa depan? Bukankah saya pernah bilang kepada seseorang disana kalau tanpa harapan kita tak tahu kemana akan melangkah? Samapun dengan saya yang pada waktu itu sedang menaruh harapan-harapan kecil lewat kertas berbentuk perahu yang saya alirkan disekolah dulu. Sampai saat ini, saya merasa harapan itu perlahan pergi. Entah kemana harapan itu mengalir. Yang jelas, saya terlalu takut untuk mengakui kalau harapan itu terlalu mustahil. 
Alunan suara merdu seseorang disana yang terus-terusan menyebut Maybe Tomorrow saat ini menjadi lagu yang menemani saya dalam sepi. Membawa saya menuju titik awal dimana saya mulai menaruh harapan itu. Apakah saya harus meninggalkan harapan itu untuk membawa angan yang baru? Mungkinkah harapan itu memang benar mustahil adanya? Sampai-sampai saya terus-terusan menyebut 'tidak' ketika semua orang mulai menyinggung satu dari tiga harapan itu? 
Terdengar sedikit aneh untuk memaksa harapan itu terwujud untuk saya. Masih saya ingat jelas bagaimana ucapan saya dengan riangnya berkata 'Ini akan terjadi' saat saya mengalirkan harapan itu. Masih sangat melekat diingatan saya hari itu; Dimana hujan menjadi saksi bahwa saya menuliskan harapan saya dan mengirimkannya kepada Neptunus. Berharap seperti sebuah novel yang saya baca, kalau Neptunus akan membalas surat saya dengan menghadirkannya didunia nyata. Ah, itu terlalu mimpi, mungkin.
Sekarang saya merasa harapan itu benar-benar bukan untuk dibawa kedunia nyata. Mungkin, membiarkan harapan itu semu disana lebih baik daripada berkelanjutan menunggui harapan yang tak pasti. Meskipun disini seseorang yang ragu untuk membawa angan yang baru mulai kebingungan mendapati dirinya yang tengah mengais-ngais kenangan dulu.

Rabu, 21 Agustus 2013

Truth or Dare

Niatnya cuma iseng dan itung-itung ngisi waktu liburan kemaren, Eh, taunya jadi deh buku dadakan yang dibuat sedemikian rupa semampu pikiran yang udah full sama kegiatan-kegiatan persiapan mos yang absurd.

Taraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!










Jumat, 07 Juni 2013

(again)

And for the umpteeth time i get this. I do not know how karma is, maybe this state called karma? I do not know. That i know, all about this problem only because me. Not someone else. This is my mistakes and not anyone else. Cause i broke all the belief and cause i'm to fool to face the world. Here is me who admit my mistakes, here is me who always give bad for you, here is me who can say i'm sorry. 

Rabu, 05 Juni 2013

Maybe..♥ #last

“Sel, tugas Pak Bondan udah buat?” tanya Ocha menghampiri Selline yang tengah duduk santai di taman menikmati secangkir kopi instan.
“Udah. Kenapa?”
“Boleh pinjem? Aku udah 2 kali missed pelajaran Pak Bondan. Jadi, you know lah.”
“Iya, pinjem aja.”
“E.. sel?”
“Ya?”
“Kemarin, Joseph bbm aku.” Ocha kembali meneruskan ucapannya, “Dia nanya-nanyain kamu tuh.”
“Apa?”
“Ya, nanya-nanya biasa. Kamu masih baik-baik aja kan sama dia?”
Selline menarik nafas panjang, “Ocha, sudah dari setahun yang lalu kan aku bilang, aku itu gak pacaran sama Joseph.” nada Selline mulai meninggi.
“Iya-iya. Aku sih emang agak gak percaya, tapi ya kalo dipikir-pikir, gak mungkin juga. Ah, udahlah.”
“Hm..” jawab Selline acuh. Entah apa yang terbesit dipikirannya. Semuanya terasa runyam.
“Sel?” Ocha kembali menyebut nama itu.
“Kenapa?” Selline menjawab dengan nada yang tinggi.
Kali ini, Ocha membatalkan apa yang ingin ia ucapkan. Biarlah Selline mengetahuinya sendiri nanti.
Hari-hari dijalani Selline seperti biasa, tanpa ada yang special atau menarik. Sudah terlalu sulit baginya mendapatkan yang special semenjak malam itu. Meskipun ada Leo yang setiap hari menjadi ojek-nya bahkan ada Arfan yang setiap minggu selalu membawakannya setangkai mawar putih, tetap saja semua itu tidak sehangat dulu. Sampai hari ini tiba. Hari dimana Selline harus merasakan jantungnya berdetak 1500 kali permenit dan matanya sudah 100 detik tidak berkedip hanya karena orang ini.
“Wow bro! Kabar itu bener ternyata.” ujar seseorang menepuk pundak laki-laki itu.
“Kabar?”
“Ya, Joseph pindah kesini. Gitu kata temen-temen yang lain, ternyata bener. Kenapa pindah man?” Roy menyunggingkan senyumnya.
Selline hanya bisa menatap itu dari kejauhan. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa ia harus dipertemukan dengan masa lalu?
“Sebenernya, waktu itu aku mau kasih tau kamu sel, tapi kamunya kayaknya lagi marah gara-gara aku ngobrolin Joseph.” Ocha menyadari bagaimana seorang perempuan yang duduk disebelahnya itu begitu terperangah melihat kehadiran “teman lama”.
Tak banyak yang ia lakukan. Berjalan bersama Roy entah kemana. Sementara Selline hanya melihat “ia” dari kejauhan. Sesak rasanya. Terlalu berat untuk menghadapi masa lalu. Kenapa masa lalu ini datang kembali?
“Dia.. masuk fakultas apa?”
“Hukum sel, sama kayak kita. Di Jakarta, dia sering bolos, jadi udah berapa kali dapet SP. Sampe akhirnya orang tuanya maksa dia ikut ortunya disini. Katanya, biar ga bolos.” Ocha menjelaskan.
“Dia tau aku disini?”
“Ya iyalah. Makanya dia mau kesini.” Elis menjawab dengan lugunya.
“Oh.” Jawabnya pelan bahkan hampir tak terdengar oleh kedua temannya.
Selline tidak tau apa yang harus ia lakukan. Ia hanya diam, terpaku masih menatap sosok seorang dari belakang itu tanpa berkata apa-apa. Masih aneh, rasanya. Debar jantung, mata yang terbelalak, dan tubuh yang seakan kaku itu tidak dapat dipungkiri masih menyimpan secercah harapan. Kali ini benar, ini bukan kelabu. Ini nyata dan perlahan, Selline mulai menyunggingkan senyumnya kearah kedua temannya. Ocha dan Elis hanya saling melirik dan seakan mengerti maksud senyuman itu.
***
Ini adalah hari baru, Selline mencoba membuka buku usang yang tersimpan rapi di laci meja kamarnya. Ia tersenyum melihat sebuah tulisan tinta hitam yang telah memiliki jawaban, “Ya”, ujarnya dalam hati, sambil menatap lembar paling akhir dari buku harian itu, “God has given to me my destiny, J”. Segera, ia menyelipkan sebuah kertas kecil dihalaman paling akhir buku itu. “This day is the 20nd ours. You’re truly mine, and I’m truly yours, J

Nb:
Selamat datang kembali masa lalu, inikah yang mereka sebut tentang cinta? –kalimat terakhir Selline dalam buku hariannya yang ia tulis dua puluh tiga tahun yang lalu.


Senin, 27 Mei 2013

Ass: Wedding Invitation


Baru-baru ini dapet tugas akhir semester dari guru bahasa inggris untuk buat undangan, boleh pilih antara birthday invitation / wedding invitation. Saya sama kedua temen absurd yang satu kelompok sama saya akhirnya mutusin buat pilih wedding invitation. 
Ceritanya nih Ms.Yeni kasih tugas itu udah dari 17 Mei yang lalu, tapi, karna dikumpulnya tanggal 24, mulai deh kerja moloorr. Yahh, wajar aja sih, soalnya 18-19 itu ada kegiatan kemah disekolah, jadi mesti banyak persiapan, tanggal 20-21 lagi padet-padetnya ulangan, jadi ya cuma bisa buat pas lagi free, ya tanggal 22&23. Bilangnya sih iya mau kerja kelompok, pas sampe ke markas kelas yang jatuh tepat di rumah saya, eh malah makan kentang+buat pr akuntansi yang tiba-tiba dikasih. Okesip, ini molor (aja). Besoknya, saya sama kedua temen saya lanjut ngerjain tugas bahasa inggris (E? Lanjut?). Kali ini waktunya cuma dari jam setengah 3 sampe jam setengah 5. Jadi mesti bener-bener gesiiitttt gesiiittt iritt. Wajar sihya, abisnya temen saya itu ada yang rumahnya jauh. Kalo dari rumah saya aja bisa 2 jam-an kerumahnya.Yaah, resiko pelajar lahya.
Mulai ngebuat segala sesuatu yang berkaitan dengan wedding invitation yang udah didesain kemaren, bener-bener kewalahan pas tau udah jam setengah 5 tapi masih belom nempel apapun. Langsung kerja super gesit dan alhasil, jadi deh Wedding Invitation "Billy & Patricia" (Entah siapa) ala-ala Paris gitu. Hehe. 
nb: dibuat dengan penuh perjuangan 













Gimana undangannya? :D hhi, ada yang minat buat pesen? Kalo ada contact personnya ke @LidyaMarselina, @PupuJuniarR, sama @Vanes_279 yaaah (eleh-..-) hahaha



Selasa, 14 Mei 2013

Someday

Ketika mulai diingkari, masihkah janji itu dibutuhkan? Rasanya tanpa berjanji mungkin lebih baik. Tapi, nyatanya janji itu telah terbuat dan i have nothing to say untuk janji "lalu" ini. Tidakkah ada sebuah jawaban atas pertanyaan itu? Bukankah ketika sebuah pertanyaan dilontarkan, ada jawaban yang diharapkan? Ini bukan curahan hati yang saat ini sedang dilanda bingung, bukan juga bermaksud untuk menyindir sosok seorang yang dipanggil "2". Ini hanya sekedar penepatan janji yang secara tidak langsung akan disadari dan dipahaminya suatu waktu nanti. 

Minggu, 14 April 2013

Maybe..♥ #7


         Ini hari pertama. Setelah seminggu menapakkan kaki di Bandung, ini hari pertama untuk Selline datang menemui guru yang disebut dosen, menemui murid lain yang disebut mahasiswa, menemui sekolah yang disebut Universitas.
         “Hei?” ujar seseorang menepuk pundak Selline.
         “Rossa?” Selline berucap sedikit ragu.
         “Haha,Kaku banget sih manggilnya. Panggil aja Ocha.” Ucapnya santai.
         “Baiklah-baiklah. Kamu? Disini juga?”
         “Ya, senang bertemu kembali denganmu.” Ujarnya dengan senyuman mengembang.
         “Kupikir hanya aku yang kesini.”
         “Hey, itu salah besar. Kau tahu Roy? Kapten basket ? Dia juga disini, dan… Eliss? Si pianis itu?”
         “Benarkah? Wohh! I missed the info.” Ucap Selline diiringi tawa yang menyusul.
         Pertemuan Selline dengan Ocha berjalan begitu saja. Seperti memang sudah akrab sebelumnya, meskipun sebenarnya, Selline hanya sekedar mengetahui Ocha dari teman-temannya. Begitupun dengan Roy dan Elis, ia hanya tau sebatas nama dan wajah. Bahkan mungkin, Roy dan Elis tak mengenalnya. “haha” tawanya dalam hati.
         “Sel, jadi ceritanya LDR nih?” ujar Ocha tiba-tiba sambil meletakkan tas-nya di hari pertama ospek senin itu.
         “Maksud kamu cha?”
         “Heleh, kamu lupa/ pura-pura gak tau?”
         Selline terdiam, mencoba menerka maksudnya, tapi ia kembali mendesah, “Siapa?”
         “Joseph lah lin, masa lupa sih?” jawab Ocha kemudian diiringi “heh”.
         Astaga! Selline bahkan tak tahu apa-apa tentang Ocha, tapi kenapa sampai sebegitu dalamnya Ocha tau tentang dia?
         “Haha” tawanya singkat, “Aku gak LDR tau. Pacaran aja enggak.” Selline menepis benar-benar keras.
         “Pasti aneh ya darimana aku tahu kabar itu?” Ocha mencoba menerka maksud Selline yang sebenarnya sangat jelas terpancar dari wajahnya.
         “Hmmm…” belum sempat Selline menjawab, Ocha sudah melanjutkan, “Kamu sama Joseph itu udah terkenal sel, siapa sih yang gak tau? Kamu tanya Roy yang super duper cool aja pasti tau. Kalian pacaran kan?”
         Dup! Selline seolah diterpa angin, dibawa menuju kutub utara, kembali mengitari padang pasir dan akhirnya menyusuri Samudera Hindia! Semua tahu? Tidakkah itu berlebihan?