Sabtu, 09 Oktober 2021

Lebih Indah

Sabtu, 17.00, ditemani suara jarum jam.


Katanya hidup penuh kejutan. 
Apa yang kamu harapkan belum tentu terjadi, pun dengan apa yang kamu hindari belum tentu pergi.

Tapi adapula yang memang ditakdirkan untuk hadir sesuai eskpektasi, sesuai yang diingini, bahkan mungkin melebihi.

Aku masih larut dalam kebahagiaan, bersama memori hari kemarin yang tak ingin aku lupa barang setitik.

Kamu, dengan setelan yang bukan gayamu sama sekali, membuat aku bertanya-tanya "mau apa sih?" 

Kemudian selang beberapa waktu, kamu mulai menunjukkan rangkaian perjalanan kita.
Lewat caramu yang tak biasa, aku mulai hanyut dalam rasa bahagia.


Banyak hal dihidupku yang terjadi, dan hari itu adalah satu yang paling menyenangkan.

Kamu harus tahu,
setiap langkahku saat itu adalah bahagia. 

Bukan soal tempat yang mewah,
Jus nanas yang aku nikmati sampai habis,
Atau pemandangan yang tak biasa.

Bukan hanya soal itu.
Ini karena kamu, 

Kamu yang membuat semuanya menjadi lebih indah.


Sebelum hari itu, aku sudah menyaksikan banyak kisah bahagia yang lainnya.

Beberapa kali merasa kagum dengan indahnya kisah mereka. 
Beberapa kali bertanya tanya dengan tangisan mereka. 
"Katanya hari bahagia, tapi kenapa menangis?"

Memang benar.
Kita belum bisa paham arti sebuah rasa, sampai kita yang jadi pemerannya.

Dan hari ini, adalah giliranku.

Lewat sebuah tulisan unik yang kamu minta untuk aku baca, aku masih ingat betul, bagaimana anehnya sepasang mata ini tiba-tiba meneteskan air mata. 

Perlahan dan pasti.

Mengucur begitu saja sampai aku dengan polosnya bilang "Kenapa se-sedih ini ya?"

Rasanya aku mau hentikan waktu kala itu. Menangis tidak pernah jadi semembahagiakan ini.


Dan baru saja aku sadari,
ada cara yang lebih indah dari tertawa, 
untuk mengungkapkan bahagia.

Sabtu, 08 Juni 2019

mem•oir [2]

Untuk kamu, teman terbaikku, dulu.

Dua hari yang lalu, aku kembali berkutat dengan cerita dan sajak barang sebaris dua baris yang sempat kutuliskan lima tahun lalu.

Aku mengenang, bagaimana aku di lima tahun belakang?
Tertawa, menyadari betapa bodohnya diri ini dengan segala hal konyol yang kulakukan belakangan.
Tersenyum, mengingat indahnya masa-masa itu, masa dimana ada yang mampu menghiasi kelamnya hariku saat itu.

Kemudian senyumku mengerucut.
Berubah menjadi diam dalam sendu.
Bukan. Aku bukan sedih dengan apa yang telah terjadi dimasa lalu.
Aku hanya merindu
Rindu sekali, sampai akhirnya diamku menjadi tangisan.

Pernah merasa menangis namun bahagia?
Itu yang aku rasa ketika kutemukan memori disana.
Kamu, teman terbaikku. Seorang yang menemukanku dalam kesendirian dan membawaku menuju dunia yang lebih membahagiakan. Kamu mengajarkan banyak hal, teman.
Tanpa kamu sadari, bahkan dititik terakhir pertemuan kita, kamu yang buatku menjadi aku yang sekarang. Kamu buat aku jadi lebih tegar, dan belajar menerima kenyataan, walau pahit. Kamu meyakinkan kalau akan ada jalan dalam setiap permasalahan.

Kita berpisah dalam diam, dalam kesedihan yang tak larut sehari, sebulan, bahkan setahun. Mungkin bukan kamu, tapi aku. Aku yang merasa.

Aku larut dalam kelam sampai akhirnya aku sadar bahwa kamu yang membawaku menuju kebahagiaan.
Terima kasih, teman! Untuk setiap rasa yang pernah kamu ciptakan.
Terima kasih untuk ada disampingku, dan selalu menjadi pendengar terbaik untukku kala itu.
Terima kasih untuk kejutan luka yang sempat kau goreskan sampai aku belajar melepaskan.

Aku masih asyik memindai satu per satu memori itu.
Menelisik sisa-sisa kenangan yang pernah kuciptakan, denganmu.
Mungkin bukan untuk dikembalikan, karena waktu tidak untuk diputarbalikkan,
Namun dijadikan kenangan.

- dari aku, yang sampai sekarang masih memperhatikan tanpa perasaan

Selasa, 31 Juli 2018

Berhenti, yuk!

Selasa malam.
Penuh keraguan.

Tadinya aku baik saja.
Aku masih santai.
Masih terima waktu kamu bilang tak mau datang.
Aku masih santai.
Dengan kamu yang bilang selamat tinggal, lalu pergi dalam sedetik kemudian.

Biasa.
Kamu memang super, sibuk.
Aku tahu
Banyak hal yang kamu lakukan,
Sedang aku hanya bisa merepotkan.

Kita,
Sama sama berjalan,
Namun takkan bertemu.
Kamu selalu berjalan kedepan.
Sedang aku mengejarmu dibelakang.
Dan kamu tahu, bahwa aku tak pandai berlari.
Sedang kamu? Selalu pergi.

Sayang,
Mungkin kamu pikir, aku sedikit lelah.
Mungkin kamu kira, aku bisa mengalah.
Mungkin kamu sangka, aku akan pasrah.
Tidak lagi, tidak untuk sekarang.

Aku, sudah enggan berlari lagi.
Tak hanya sedikit lelah yang kau beri, tapi tak terhitung lagi.
Tak ingin kalah atau pasrah lagi, tapi ingin berhenti.
Sejenak.
Atau lebih dari itu.
Melihat, mana yang lebih pantas.

Diam saja atau lanjut berlari.

Lihat sayang,
Aku sudah dengan santainya bilang aku yang berhenti.
Lihat saja.
Seberapa lama ucapku akan terbukti.
kalau aku, berharap ini bukan hanya pikir kosong.
Atau bukan juga sekedar bohong

Aku harap,
kamu mengerti,
Alasan kenapa aku berhenti,
Dan jangan buat aku kembali,
sebab aku akan pergi.
Sama , seperti kamu yang aku ketahui.

-dari Aku, si tolol yang kembali bilang maaf meski tak tahu dimana salahnya-

Senin, 16 Juli 2018

Pernahkah sadar?

Malam ini dingin. Dingin sekali sampai-sampai aku mengulur selimut dalam-dalam. Sampai-sampai suhu tubuhku tak lagi normal. Ya, aku sakit. Tapi disini, saat ini,
Bukan tubuhku yang terasa sakit
Saat ini,
Disini,
Ditempat ini,
Jauh lebih sakit. Tak perlu kusebut karna kau pasti tahu.

Aku mendengar dentuman keras lagu ditelingaku, sengaja disetel supaya tak terasa sunyi lagi hariku,
Tapi tetap saja, yang terasa hanya lengang dan kosong, lalu hampa yang datang menyapaku,

dan tanpa rasa malu, dia menyapa.
bertanya ada apa, lalu mengutuk kebodohanku.

Hai, sayang.
Akhir-akhir ini aku sedang kelam.
Kalau kuibaratkan perasaanku dalam empat musim, inilah aku, yang tengah berjatuhan satu persatu, tetap indah sih,
Aku tetap tersenyum walau terjatuh,
Tetap membuat mereka memandang lalu sedetik kemudian berkata kalau tak ada apa-apa.

Iya. Aku adalah musim gugur.
Sekarang
Saat ini
Dan entah untuk berapa lama

Aku hancur, sayang.

Aku berkali-kali mengelus dada.
Bilang pada hati kecilku untuk tetap sabar, kan ada jalan.
Bilang pada pikir jahatku untuk jangan macam-macam, dasar nakal.
Bilang pada kamu jangan semaumu, kamu jahat, tapi tetap sayang.

Aku bosan, dengan liku cerita kita.
Akan kujelaskan lebih detil dalam satu paragraf :

"Kamu datang, kusambut dengan senyuman. Kamu bahagia, sangat. Pun dengan aku. Kita sama-sama bahagia, sesaat. Sampai lupa kalau setiap kebahagiaan sangat erat dengan kesedihan. dan dititik inilah kesedihan ini hinggap. Dititik ini, hati kecil masing masing kita ingin mengakhiri dan saling iri. Iya, aku iri dengan senyummu yang tak semanis itu untukku, kamu pun juga. Aku juga iri dengan lelucuan mu yang terasa sangat berbeda untuk orang lain. Ya, diantara kita, kita lupa kalau ada orang lain, yang bisa masuk dan keluar seenaknya, sementara kita, belum bersiap untuk menyambut atau bahkan tak punya cara untuk melepas. Antara aku dan kamu, adalah kamu yang paling bodoh melepas. Dan aku, adalah yang paling pintar menemukan. Selalu seperti itu, kebahagian kita terkikis dan berganti jadi kepahitan. lalu kamu kan bilang maaf dan mencoba untuk berubah, dan tak lebih dari dua puluh empat jam, kita sudah bersapa biasa, seperti tak pernah ada dia. lalu, kan begitu lagi pula dalam kurang dari tujuh hari. Berulang  dan terus berulang."

baca ceritaku, pernahkah kamu sadar?
Kita mengulang titik itu berkali-kali sayang.
Aku lelah dan ingin mengalah.
Tapi aku belum ingin menyerah.
Selalu kuusahakan, supaya masih ada harapan, buat kita agar kembali berdekatan.

aku lelah, dengan segala kebohongan yang kamu lantunkan
Dengan segala maaf yang hanya sekali jalan
Lelah, sayang.

Aku disini, bodohnya memikirkan seribu satu kejutan untukmu, bahkan sampai sakit kepalaku karna harus berpura-pura menjadi kamu, dan mengandai-andaikan apa tanggapanmu kalau kamu melihat ini, cuma ingin kamu bilang terimakasih, sayang.

Tapi dalam sudut lain, kamu tengah sibuk, sama - memikirkan seribu satu cara juga. Tapi bukan untuk kejutanku, apalagi untuk berandai-andai menjadi aku,
kamu sibuk, dengan duniamu yang kau anggap hiburan.
yang kau bilang hanya teman.

Pernahkah sadar?




Dari aku, yang bodohnya masih memikirkan kejutan ini itu, sembari kamu berpikir ini itu untuk menghentikanku.

Minggu, 15 Juli 2018

Bertahan?

He just made promise, and then he denied it

Minggu pagi, dalam suhu 29 derajat diluar, sementara didalam sudah 18 derajat celcius

Aku mengelus dada lagi, menahan emosi.
Kamu bilang ini itu, kamu buat aku bahagia lalu menyanjung mu dengan ribuan pujian.
Kamu baik, kamu paling baik.
Kamu pengertian dan bahkan perhatian.
Kamu romantis, dan pintar membuat kejutan.
Kamu ibarat tokoh dalam drama korea yang kukagumi, sesaat.

Sesaat kamu menjadi manusia paling berharga yang pernah kutemui. Tapi apalah artinya sesaat, sayang?

Sekejap dan tak menetap.

Kamu terlalu pandai menjadi pendongeng.
Kamu terlalu lihai bermain kata-kata
Kamu terlalu mahir menciptakan kalimat-kalimat indah
Yang buat aku terlena sampai lupa,
Kalau kamu, lagi lagi situkang berjanji.

sayang,
Ingatlah kalau setiap manusia punya batas kesabarannya masing-masing.
Ingatlah kalau kamu bersalah lekaslah meminta maaf.
Ingatlah kalau setiap kata-kata bukan hanya sekedar bualan.
Ingatlah kalau aku, si manusia bodoh ini, inginkan kamu untuk menepati, atau lebih baik tak berjanji.

you made it and you denied it.
Kamu lah yang paling pandai mengotak-atik hatiku, membuat ku lagi-lagi berpikir, haruskah aku tetap sabar dan bertahan dengan si tukang janji?

Sabtu, 07 Juli 2018

Tentang Hari Ini

Pagi ini, aku baru saja mengamini janjimu. Aku sudah tebar kebahagiaan disana-sini. Sudah lupa kalau kamu, hanya tukang berjanji.

Pagi harimu yang baru kau mulai dipukul delapan ini, sangat lah berbeda dengan siang hari yang baru pukul dua. Tadi pagi, kau seolah memberikan warna baru dalam pekatnya hariku belakangan. Namun siang ini, kau menodai warna itu, membuat hariku jauh lebih pekat dari sebelumnya.

Aku memang bodoh. Wanita mana yang tenang hatinya jika lelakinya tebar pesona sana sini. Memang salahku, terlalu menyepelekan sifatmu itu. Aku juga bodoh. Wanita mana yang sudah diumbar janji beribu-ribu kali namun masih setia menelan bulat-bulat janji itu?

Kalau kau mau tau isi hatiku, anggaplah kau baru saja melihat puing-puing bangunan tua yang sedang dihancurkan. Aku kokoh, dan begitu kuat. Tapi, aku sudah hancur, dan apalah artinya puing-puing saja, aku bahkan tidak mampu mengatapi diriku sendiri.

Aku tau, kamu ingin yang terbaik buatku, kamu tak mau menjanjikan aku ini itu, tapi kamu adalah kamu. Sifatmu adalah satu dari jutaan hal buruk yang ada dihidupku. Aku adalah salah satu kebodohan yang kian kau manfaatkan.

Kalau kau tak suka lagi, kenapa masih berjanji?
Kalau kau ingin berganti, kenapa memaksa menanti?
Kalau kau memang ingin sudahi, kenapa masih seperti ini?
Harapan dan harapan.
Lagi-lagi harapan yang kau beri
Dan buat aku lupa diri
Kalau sedari dulu, kita sudah sendiri-sendiri.

Maaf ya, aku lagi-lagi mengulangi kebodohanku. Mungkin karna sudah mati rasa?


Sabtu, 14 April 2018

mem·oir

Untuk kamu, yang pernah membahagiakan.


Selamat malam, kamu. Aku ingin bercerita, tentang banyak hal, yang kini hanya bisa kusebut memori.

PERTEMUAN PERTAMA
Aku melihatmu, datang dengan senyum, membawa rentetan bahasa yang masih asing ditelingaku, bercerita menghibur setiap jiwa yang mendengar satu per satu frasa yang kau simpul dengan begitu hangat. Kesanku, kamu sangat lucu.


TAK TERLUPAKAN
Satu dari jutaan kisah dalam hidupku, aku menjadi manusia paling beruntung. Atas segala duka kala itu, aku bisa mengingatmu sebagai satu dari sekian langkah yang mengiringi sedihku.


CEMBURU
Aku mendengar cerita tentangmu dan aku cemburu. Sesimpel itu sampai aku mulai sadar kalau kalau ada yang salah dengan aku.


BAHAGIA
Akhirnya, aku menyimpulkan penutup tahunku dengan rasa penuh bangga dan bahagia. Aku mendapati diriku yang tengah tersenyum walau hanya membayangkannya. Hari itu, percayalah, kalau senyumku adalah satu dari sekian senyum yang paling tulus yang pernah kalian lihat.



JATUH BANGUN
Lika liku ceritaku tak ada ujungnya. Jika aku tak sengaja melewati jalan buntu, segera kuputar balik rodaku supaya bisa menuju persimpangan lain yang masih ada jalan, berharap kalau kalau yang kudapati indah nantinya.


JURANG
Buntu. Aku mulai merasa lelah untuk memutar balik rodaku. Rasanya jalan yang kulalui sudah benar, tapi tak begitu buat mu. Kita malah beradu tentang mana jalan yang benar, tanpa kita tahu kalau ada satu yang mulai lelah mendengar perdebatan kita, hati.


BERHENTI
Sampai dititik ini, aku merasa sangat bersyukur, untuk semua kebahagiaan yang tak lupa kau bagi. Tapi, mungkin memang tak selamanya kebahagiaanmu itu bisa membuat aku merasa bahagia pula. Ada saat dimana yang kau rasakan, tak selaras dengan yang mereka rasakan. Dan di titik inilah, aku memutuskan untuk berhenti. Tak lagi mencari jalan lain dan membiarkan semua perhentian perhentian yang mengantarkan aku sampai disini menjadi memori yang indah.


Terimakasih! 

Kamis, 15 Februari 2018

Maaf

Untuk kamu, yang mungkin sedang melaju dengan rasa riuh dan kacau

Maaf.
Aku tidak bisa mengerti kamu seutuhnya, tak juga bisa membuat kamu bahagia dengan caraku.

Maaf.
Telah aku biarkan egoku menusuk segala rusukmu. Hingga kamu mungkin lelah, mungkin juga mulai menyerah

Maaf.
Karna tak ada yang bisa aku lakukan untuk merubah diriku sendiri, supaya bisa mengerti kamu dan memahami segala hal hal tentangmu

Maaf.
Karna aku sejujurnya benci melihatmu lelah dan mengalah. Benci melihatmu yang sering mengatakan "iya, iya, aku salah, terserah."

Maaf.
Aku lagi lagi menyalahkanmu, menganggap aku yang paling benar, dan merangkai seribu satu kata untuk memenangkan egoku

Maaf.
Karna aku tidak pernah mengerti ada di sisimu, aku sibuk dengan hal-hal yang semestinya tidak kamu campuri, sibuk mencari cara agar kamu tahu segala tentangku, meski nyatanya kamu mungkin tidak harus tau, dan bahkan tidak ingin tau

Maaf, sayang.

Satu hal yang harus kamu ketahui: Aku sekarang sedang takut. Dengan kamu yang semakin sering mengucap "terserah" atau bahkan "aku yang salah".


-dari wanita yang sekarang sedang membiarkan pipinya basah karna dihantui rasa malu meminta maaf